Thursday, September 29, 2011

Surat untuk Oza, si Sarjana ASIX


#ayahASI, juara hati!
Usiamu menginjak 6 bulan saat Ramadhan datang. Ratusan hari kemarin Kamu hanya bergantung padaku, untuk melepas dahaga dan menuntaskan laparmu. ASI. Cairan ajaib yang menumbuhkan tubuhmu, mengobati sakitmu dan menentramkan hatiku.

Mari sayang, kita berterima kasih kepada Sang Maha Pencipta, yang telah mencipta dan mencukupimu dengan makanan terlezat dan terhebat didunia. Kamu tahu, betapa canggihnya proses pembuatan makananmu yang diolah oleh mesin dalam tubuhku? Mesin itu bekerja dengan bahan bakar semangat dan keikhlasan hingga keluar menjadi tetesan yang membentuk sel demi sel dalam tubuhmu.


Formula rahasia yang tidak bisa ditiru oleh tangan manusia. Produk susu terhebat sepanjang zaman. Bahkan Nabi kita pun meminum cairan yang sama. Air Susu Ibu. Dibuat Ekslusif khusus untukmu. Dan tahukah kamu, siapa orang yang berperan besar dalam pemberian asi ekslusifmu ? Ayah!

#ayahASI saling berbagi
Ayah memang tidak seperti aku yang ada terus menerus bersamamu. Tapi Ayahlah orang pertama yang menyambutmu saat kamu melihat dunia dan merangkak didadaku. Sabar ia menanti gerakmu untuk menyusu. Sambil ia lantunkan adzan ditelingamu dengan khusyuk.

Malam kami tak lagi sama. Suara tangismu pecah saat mata belum lagi terpejam. Saat lelah menyergap dari segala penjuru, godaan seakan menyerbu. Botol-botol itu seperti menanti untuk mengganti. Tapi ayah menjadi juru bicara , dengan lantang ia katakan bahwa kamu hanya akan minum susu, dari aku. Banyak tatapan ragu, tapi ia tetap menatapku untuk maju.

Masih lekat dalam ingatanku, bagaimana ia menumpuk bantal agar kau nyaman dipangkuanku. Agar punggungku tidak pegal dan kita berdua bisa menikmati waktu kita dengan menyenangkan. Saat lelah  mulai hinggap, ayahmu dengan lembut mengusap punggungku. Menawarkan ini dan itu. Ayah memang tidak bisa menyusui seperti yang aku lakukan, tapi dia menciptakan kenyamanan agar kita berdua bisa bermesraan hingga kamu tersenyum kenyang.

Saat ayah menemani kontrol
Saat senyum dan tenagaku menipis karena meringis, ia memberiku kekuatan dengan pelukannya. Pelukan terhangat yang penuh semangat.. agar yang terbaik ini tidak cepat tamat.

Dukungan dari ayah bukan slogan. Dia benar-benar memberikan fasilitas untuk kita berdua menikmati masa-masa bulan madu bersama asi. Pilihannya selalu memiliki label terbaik. Saat orang lain ribut tentang berat badanmu, ia memandangku agar tak usah ragu. Pilihan asupanmu, sudah nomer satu..

Lucu melihatnya pulang menenteng barang belanjaan yang semua isinya  keperluan kita, keperluan kamu dan aku. Keperluan menyusui. Aku masih ingat binar antusias matanya kala ia bercerita  telah mendatangi toko demi toko di pusat grosir. Tak ada gengsi , ia melakukannya dengan penuh kesadaran dan cinta, membekali dan mendukung dengan perlengkapan perang untuk perjalanan ekslusif kita. Semua terbaik dari yang ada. Ia Bertanya, membaca, mendengar, kami berdua belajar bersama tentang merawatmu.

Dari kubikel kantornya, dia tak pernah luput untuk mencurahkan perhatiannya pada kita. Perhatian. Ah,ya! Rasanya Itu lebih besar dari perhatian, lebih luas dari cinta. Perhatian itu kasta tertinggi dari memberi,Nak .. Didalamnya ada semangat,doa, energi, dan semua tercurah untukmu, dan aku.

Oza, si sarjana ASIX
Hanya untuk makananmu saja ayah tak ribut tentang komposisi. Meski tak ada label tertempel, tapi ia tahu benar komposisi makananmu ini adalah terbaik. Tiap tetesnya terbuat dari doa dan cinta yang segar. Tetesan yang akan menumbuhkan jutaan sel unggul dalam tubuhmu. Tidak ada yang sehebat ini, sayang ..

Ayah mungkin tidak piawai memandikanmu, mengganti popok , dan hal-hal yang biasa aku lakukan untukmu. Tapi, ia melakukan semua hal yang membuatku kuat dan bersemangat untuk memberikan hakmu sampai tamat.

Ia selalu ada membesarkan hatiku. Memberiku selamat saat melihatmu tumbuh sehat. Hari ini selamat itu bukan hanya untukmu, si sarjana ASIX. Tapi, untuk dia . Ayah hebat yang selalu penuh semangat..

Terima kasih Ayah, atas segala yang terbaik . Ini kesuksesan kita bersama. Penuh kASIh dari kami, untuk ayah ASI..

21 Agustus 2011,

Peluk cium,
Bunda

*Cerita ini dari blog www.kotakadenita.com | Yuli Anita yang dikenal Adenita, istri dari Rahmat Agung Priambodo, seorang ibu dan penulis. Novel pertamanya "9 Matahari" yang membuatnya masuk nominasi Penulis Muda Berbakat di Khatulistiwa Literary 2009.

Wednesday, September 28, 2011

Dear Dads, We Play a Key Role in Breastfeeding, for Sure!



Let’s start with a problem. The biggest problem with becoming a dad these days; besides the stinging realization that we’re not the center of the known universe of parenting stuff, is that no one tells us how to do it.


We’re not like women, who seem to be in a lifelong training course for motherhood and who have a vast mommy-industrial complex of books and shows and magazines and expert friends at their disposal. The only experience we’ve had with fatherhood was through our own fathers – which, if we haven’t noticed, ain’t exactly the model for how things work anymore.



In facts, in the intervening years, mom-and-dad lines have blurred. Our participation in the daily life of your child is no longer merely interesting, it is required. We’re expected to know everything.


In the other side of the problem, many dads feel left out when it comes to breastfeeding; one of the most important thing in the first two years of the baby's life. We can't feed the baby ourselves and we envy the closeness the mother and baby share when nursing.


But, though we may not realize it, fathers play a key role in breastfeeding, for sure. Our support often makes the difference in whether a woman sticks with nursing and succeeds or gives up before she really learns how. Especially, through the sometimes-rocky first days and weeks of nursing process.


Now, let's start with the simple one: the best thing we can do (dads) is just be willing to support breastfeeding.


How do? I do understand all the way, it seems hard for many dads when it comes left out feeling in the first days and weeks of the baby's life. But, you know what? That's the best time to jump in and learn how to do other things that we'd never imagine before. In my short experiences, we could sing to our babies or carry them in a snuggly pouch, learn how to give them a sponge bath, or even get the baby and change a diaper before handing the hungry bundle to the mother.


I do encourage all of dads to shout the voices of breastfeeding support. We could learn together, share the knowledge, because the learning process is never ever stop; and we couldn't just get enough of it. If, books, magazines, and all the mainstream media do not take this as a sexy issue, then we have to figure out ourselves; for a good cause, for our beloved kids, in the name of fatherhood.


* Video di atas adalah Iklan Layanan Masyarakat AIMI (Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia) ASI yang diluncurkan untuk menebar pesan bahwa peranan ayah sangat penting dalam proses dan keberhasilan menyusui.

Riset Itu Penting!



Banyak hal yang saya dan istri diskusikan selama kami bersama, sejak masih berpacaran. Mulai dari urusan agama, politik, sampai beragam hal yang kami inginkan dalam hidup saat itu, kini, dan nanti. Secara umum, kami sebagai pasangan, tidak tergolong sepasang pria dan perempuan yang ambisius. Istri saya, ketika masih kuliah dulu, punya cita-cita sangat sederhana: ia ingin berkantor di ruangan dengan fasilitas air conditioning (AC); begitu sederhananya, hingga saya jatuh cinta setengah mati padanya.

Belakangan cita-cita sederhana yang mencuri hati saya itu berubah. Ia ingin buka warung yang berlokasi di Sekolah Dasar (SD) Negeri! Kenapa? Karena ia pikir bisa ngasih utang kepada si anak-anak SD itu. Isn’t she’s great?

Saya sendiri tidak punya cita-cita yang terlampau jauh; hanya satu hal yang cukup ambisius saya pikirkan, yaitu mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk menonton World Cup atau Euro Cup secara langsung! Walaupun, belakangan saya mulai merevisi keinginan itu, dan mengalihkannya ke rencana membuka kafe atau bahkan bermalas-malasan sembari membaca buku seharian.


Sepotong kisah tentang istri saya yang tidak njelimet dan sederhana, serta saya yang juga tidak berbeda jauh, mungkin terkesan tidak penting; namun, hal ini yang menjadi landasan kami memberi nama putri pertama kami, Jaseena; bahasa Arab yang berarti berhati baik. Kenapa? Karena kami tidak minta banyak hal dan berlebihan, kami hanya berharap anak kami punya hati yang baik. Kami percaya, hati yang bersih dan baik merupakan modal utama seseorang bahagia dalam jalur hidup pilihannya.

Nama tenganya adalah Akiela yang berarti cerdas. Hati yang baik akan lebih lengkap jika ia tumbuh menjadi manusia yang cerdas, tahu apa yang dia lakukan, konsekuensi, dan bertanggungjawab. Karena kami sadar tidak selamanya ada untuknya, dua hal itu saja, sudah membuat kami cukup tenang.

Sementara itu, lepas dari harapan kami pun berniat berusaha sekuat tenaga memberikan yang terbaik untuk anak kami, sejak ia lahir. Bagian ini adalah tanggungjawab dan kewajiban kami sebagai orangtua. Saya dan istri sepakat melabelkan diri sebagai orangtua “garis keras”.

Sesaat setelah saya mengetahui istri saya positif hamil, dan usianya sudah dua minggu, saya senang bukan kepalang! Namun, sejenak kemudian saya langsung berpikir bahwa saya sama sekali tidak mengetahui, apa yang harus dilakukan dan saya persiapkan selama masa kehamilan? Saat itu, saya mulai menjaring berbagai informasi, dan melakukan riset pribadi tentang hal-hal yang berkaitan dengan masa kehamilan dan kelahiran.


Seiring dengan masa saya mengumpulkan berbagai informasi yang saya dan istri butuhkan, saya pun menemukan bahwa komersialisasi bidang kesehatan di Indonesia berada di titik yang menyedihkan. Pemerintah, bahkan seperti menutup mata dari beragam isu kesehatan publik. Maka, saya pun berkomitmen untuk mendukung istri menjalani proses kehamilan hingga persalinan sealamiah mungkin, dan menjadi konsumen kesehatan yang bertanggungjawab.

Saya mulai proses riset dengan bergabung ke beberapa komunitas kesehatan dan mulai belajar tenang hal-hal disekitarnya, termasuk tentang Inisiasi Menyusui Dini (IMD), dan pentingnya pemberian Air Susu Ibu (ASI). Kami percaya dan sepakat proses IMD selama melahirkan dan pemberian ASI setelah melahirkan adalah hal yang sangat penting dalam bagian usaha kami untuk membesarkan anak dengan cara terbaik. Hal itulah yang menjadi pertimbangan kami dalam memilih dokter kandungan dan juga rumah sakit untuk tempat melahirkan anak kami.

Setelah sempat pindah dokter, sampai berkunjung ke beberapa rumah sakit, saya dan istri sepakat untuk mendarat di rumah sakit St. Carolus, dengan bantuan dr. Ekarini. Meskipun rumah sakit itu terkesan spooky dan kerap memancing bulu kuduk berdiri karena merupakan salah satu rumah sakit tertua di Jakarta; namun rumah sakit itu punya sederet suster sekaligus bidan yang sabar menjelaskan tentang prosedur IMD dan kebijakan rawat gabung.

Tak hanya itu, mereka pun mengajarkan calon orangtua mengganti popok, memandikan, sampai menepuk-nepuk bayi setelah menyusui. Para bidan ini menekankan pentingnya proses bonding secepat mungkin antara orangtua dan anaknya.

Selain bergabung dalam komunitas kesehatan hingga shopping rumah sakit, saya juga mengandalkan internet untuk mengumpulkan informasi. Mulai dari browsing, sampai menyambangi berbagai forum dan mailing-list. Biasanya mudah ditemui beragam cerita pengalaman melahirkan dan hal-hal lain yang terjadi di seputar prosesnya. Sebelum hunting rumah sakit, saya juga mencari paket keterangan lengkap, dari rumah sakit yang pro ASI, sampai dokter yang ideal berdasarkan pengalaman, umur, bahkan jenis kelaminnya; sebelum kemudian menemui si dokter dan memutuskan pilihan.

Beberapa pertanyaan saya siapkan untuk memastikan kami menemui dokter yang tepat. Kami memastikan si dokter pro proses kelahiran normal, memintanya menjelaskan: pada kondisi apa kami harus mengambil prosedur operasi Caesar? Serta alternatifnya; semua kami sudah siapkan bekal jawaban dari riset di internet sebagai bahan perbandingan dengan keterangan si dokter.

Intinya, ketika berhadapan dengan dokter sebaiknya jangan sungkan atau malu bertanya. Kita ini penikmat jasa yang berhak mengajukan pertanyaan apapun yang relevan. Pernyataan dokter itu pun bisa kita catat dan riset ulang untuk memastikan validitasnya; apakah dokter sudah memberikan jawaban yang benar dan masuk akal? Selebihnya tinggal faktor kenyamanan dan kepercayaan atas dokter tersebut. Dua hal terakhir ini pun tak kalah penting.

Setelah proses panjang, akhirnya tiba waktunya kelahiran putri pertama kami; setelah istri saya berjuang sejak pukul empat sore, hingga nyaris pukul satu dini hari berikutnya, anak kami lahir dengan sehat sempurna dengan proses normal. Perjuangan istri saya yang luar biasa sekaligus menegangkan membuat saya membatin, bahwa pelajaran utama untuk kelak saya mendidik anak saya adalah: hormati ibumu nak!

Sesaat setelah lahir, anak kami langsung diletakkan di perut ibunya untuk menjalani proses IMD, sembari saya membisikkan kalimat-kalimat Adzan di telinganya. Kebahagian kami memuncak ketika putri kami menemukan puting ibunya dan mulai menyusui untuk pertama kalinya. Meskipun anak kami sempat dapat diagnosa kuning sehingga perlu disinar dan tinggal lebih lama di rumah sakit, dan istri saya sempat operasi karena ada pendarahan dalam akibat proses persalinan; selebihnya prosesnya relatif lancar hingga kami pulang ke rumah sebagai keluarga yang lengkap.

Istri saya menyusui dengan lancar sampai tiba waktunya ia kembali bekerja. Stok ASI perah (ASIP) yang sudah ditabung selama masa cuti pun siap tanpa hambatan. Meskipun demikian, satu bulan pertama kelahiran anak pertama kami benar-benar jadi ujian untuk kami. Istri saya bangun nyaris setiap tiga jam di malam hari untuk menyusui, dan saya ikut bangun untuk membantu mengganti popok dan menemani istri di saat ia menyusui Jaseena.
Ketika itu, mungkin kami merasa sangat lelah, tapi sekarang, sungguh saya merindukan masa-masa itu. Masa ketika putri kecil saya tidur dipelukan saya setelah saya sendawakan dia. Holding her at that moment is the best feeling I ever had.
Saat istri saya kembali bekerja, peralatan ASIP pun disiapkan untuk digunakan oleh mbak Inem yang membantu kami merawat Jaseena selama istri saya bekerja. Mbak Inem sudah dilatih untuk memberikan anak kami ASIP dengan soft-cup. Sebelumnya, kami sempat mencoba memberikan anak kami ASIP dengan sendok, ternyata ia tidak cukup sabar menunggu jeda di antara setiap sendokan ASI, tangisnya pun semakin menjadi. Ternyata soft-cup adalah solusi, hingga anak kami tak perlu menunggu setiap sendokan. Alhamdulillah, semua berjalan lancar.

Seiring waktu muncul “diskusi” antara saya dan istri, terutama dari istri saya yang mempertimbangkan untuk berhenti bekerja karena merasakan penurunan keterikatan dengan si anak. Ia khawatir, jika terus bekerja akan kehilangan masa-masa bonding yang sedang kental terbentuk; padahal ketika itu istri saya memiliki karier yang bagus.

Namun, kembali ke kisah di awal cerita ini, bahwa kami bukan pasangan yang muluk-muluk. Artinya, kami tidak perlu ambisius mencari uang berlebihan, karena yang terpenting adalah cukup menghidupi sekeluarga dengan layak. Jika istri saya memang ingin berhenti, saya mendukungnya. Maka, ketika itu, keputusan ada di tangan istri saya.

Saat istri saya positif berhenti bekerja, saya mendukungnya, bahwa terus terang saya senang karena ia mau menjadi full time-mom. Sejak itu, istri saya bisa memberikan ASI secara langsung kepada anak kami. Jujur, sebelum punya anak, istri saya bukan tipe keibuan, dan ia pun minim pengalaman berinteraksi dengan anak kecil, apalagi bayi. Saya pun terus member semangat dan dukungan, diimbangi dengan kekuatan hatinya; saya tak pernah bisa mengungkapkan kekaguman dan pujian atas usahanya yang luar biasa.

Perlahan tapi pasti, rasa percaya diri istri saya pun terbentuk dan semakin kokoh. Kenyamanan dan kelihaian ia berinteraksi “memegang” anak semakin lugas terlihat. Proses dan interaksi yang mesra dan lucu antara istri dan anak saya kerap membuat saya iri. Benar, menyusui anak adalah anugerah besar yang bisa dilakukan seorang ibu kepada anaknya. It’s magical and I just wish that I can have that kind of bonding. But I know it is the gift of a mother to her child which cannot be replicated. Seorang ayah hanya bisa bersyukur atas segala karunia kehidupan yang telah diberikan Tuhan.

Semoga semua hal yang saya dan istri lakukan selama ini adalah yang terbaik untuk Jaseena, dan bukan karena ego kami sebagai orangtua. Dan untuk putri kecil kami, terima kasih karena telah memilih kami sebagai orang tuamu. We will try our best. This is my promise to you, and we love you so much!

*ditulis oleh Pandu Gunawan | Twitter: @sipandu

Jauh Sebelum Waktunya…



“Ngapain lagi tuh ABG belajar tentang ASI?”

Kalimat itu yang mungkin melintas di pikiran sekelompok pasangan suami istri, ketika melihat saya duduk di antara mereka dalam sebuah seminar mengenai ASI. Ya ASI, Air Susu Ibu. Ketika itu saya masih sangat muda, dan yang jelas, belum menikah.

Memang sudah risiko, menjadi yang paling muda sekaligus bujangan di seminar ASI, tentu saja mengundang heran bagi kebanyakan orang. Namun, terus terang kepentingan saya saat itu bukan sekadar iseng, melainkan memang sengaja membawa misi penting untuk mengetahui secara detail tentang ASI, dan mengapa ASI penting? Pertanyaan yang saya pikir perlu saya ketahui jawabannya.

Keingintahuan ini bermula karena pekerjaan saya di salah satu stasiun radio dengan segmen pendengar perempuan di Jakarta. Posisi sebagai produser siaran membuat saya sebisa mungkin mengetahui beragam hal yang kebanyakan berkaitan dengan isu kehidupan perempuan untuk disebarluaskan kepada pendengar.

Di titik tertentu, saya kelimpahan tugas untuk menggarap program kampanye ASI. Sebagai orang yang ketika itu belum berencana menikah, apalagi memiliki anak, tugas ini menjadi tantangan tersendiri buat saya. Tidak mudah sudah harga mati, tapi saya punya keyakinan bahwa informasi ini menjadi hal yang sangat berguna suatu saat kelak. Maka, hal pertama untuk mendalami isu yang jauh dari masa dan usia saya ini adalah mampir ke seminar tadi.

Kini, saya sadari bahwa seminar itu merupakan gerbang sekaligus bagian profesi yang sangat mencerahkan buat saya; karena saya tahu hal penting seperti ASI, jauh sebelum terlambat. Saya masing ingat, saat itu nyaris seluruh yang hadir adalah perempuan, dan hanya ada dua orang pria di ruangan itu: saya dan seorang pelayan di restoran yang menjadi lokasi seminar.


Saat mengamati sekitar, saya menebak-nebak bahwa usia para perempuan di seminar ini jelas di atas saya. Sementara saya, ketika itu berusia 22 tahun. Ya, usia di saat seorang pria seharusnya berada di masa senang-senang dan tidak perlu memikirkan pernikahan, apalagi mengenai anak dan ASI. Namun, walaupun ada rasa asing di ruangan itu, saya berusaha mengikuti materi yang dibahas semaksimal mungkin.

Tiga puluh menit pertama saya hanya bisa diam, terjebak antara ketidakpahaman sekaligus terkejut mengetahui betapa pentingnya ASI; dan di saat bersamaan saya langsung mengingat keluarga di sekitar lingkungan saya, yang memang belum mengetahui menfaat ASI secara mendalam. Contoh paling mudah adalah orangtua saya, yang belum pernah menjelaskan secara detail kepada saya, karena sejak kecil saya lebih akrab dengan susu kaleng yang harus di minum setiap pagi dan sesaat sebelum tidur.

Pembicara pada seminar tersebut, Dr Utami Roesli; sementara pembicara lainnya adalah menantu bu dokter, sekaligus mantan model majalah Playboy, Tiara Lestari. Hmmm… Saya lagi mengingat-ingat, apakah faktor pembicara kedua yang membuat saya  mampu menyerap materi seminar dengan baik? Hehehe…

Salah satu bagian penting yang diulas dalam seminar itu adalah pentingnya proses Inisiasi Menyusui Dini (IMD), demi kesuksesan pemberian ASI. Istilah ini sempat membuat saya tertegun dan bingung, apa lagi ini? IMD adalah Inisiasi Menyusui Dini, peristiwa melekatkan sang bayi di perut ibunya, langsung setelah melahirkan dan tanpa dimandikan. Inti dari proses itu adalah membiarkan si bayi berupaya mencari puting payudara ibunya, agar si anak langsung mengenal ASI sejak pertama kelahirannya di dunia.

Proses ini harus didukung penuh oleh rumah sakit atau tempat si ibu melangsungkan proses persalinan, karena IMD merupakan bagian penting dari proses pemberian ASI, karena keduanya saling terkait. Nah, di sinilah peran Tiara Lestari yang saat itu berbagi kisah tentang keberhasilannya memberikan IMD dan ASI pada anaknya. Materi seminar pun mulai berlangsung semakin menarik, hehehe…

Mendengar serentetan penjelasan mengenai pentingnya ASI yang dibuka dengan IMD oleh para pembicara di seminar itu, lengkap dengan video-video tentang proses melakukan IMD membuat saya terkagum-kagum. Mendebarkan rasanya ketika menyaksikan seorang bayi yang baru lahir berusaha mencari puting payudara ibunya, tanpa bantuan. Semua rangkaian informasi ini membuat saya tertarik untuk menggali lebih banyak lagi pengetahuan tentang ASI. Hal yang kemudian terlintas di pikiran saya ketika itu adalah, saya harus informasikan ini kepada orang sebanyak mungkin, khususnya calon istri saya kelak.

Lepas dari seminar itu, saya membaca kembali semua materi yang saya dapat, layaknya seorang yang besok akan menghadapi ujian. Saya bandingkan informasi itu dengan beragam sumber lain melalui internet. Hasilnya, saya takjub. ASI ternyata isu besar yang membutuhkan perhatian penuh. Banyak rumah sakit (RS) di Indonesia yang belum mendukung IMD, sayangnya karena informasi mengenai proses ini masih simpang siur sehingga membuat penerapannya menjadi kabur.

Lebih menyakitkan lagi ketika saya mendapatkan fakta-fakta bahwa banyak RS yang membiarkan si bayi diberi asupan susu formula ketika baru dilahirkan. Padahal, saya tahu persis, bahwa puluhan bahwa ratusan juta kaleng susu pun tidak akan pernah bisa menggantikan ASI. Semua kegelisahan ini perlu saya tumpahkan, dan ketika itu orang pertama yang menjadi “korban” adalah pacar saya, Sessa Xuanthi. Meskipun ia perempuan, ternyata ia pun belum banyak mengetahui tentang hal ini.

Ketika saya bahas soal ASI, reaksi pertamanya adalah bingung, diam, lalu berkomentar, “Hah, kamu belajar ASI? Yang bener aja, aku aja yang perempuan belum pengen tau!” Ia lalu tertawa, merasa saya aneh, buat apa pria seusia saya mencari informasi mengenai ASI. Saat itu saya hanya berpikir, bahwa ia bukan tidak ingin tahu, tapi hanya belum yakin bahwa ia ingin tahu lebih banyak tentang hal ini.

Lalu, daripada saya tertular tidak yakin, saya pun mencoba meneguhkan keyakinan saya dengan menemui Dr. Utama Roesli, salah satu pembicara dalam seminar tadi, yang memang dokter anak sekaligus ketua Sentra Laktasi Indonesia. Saya yakin ini keputusan yang tepat. Pertemuan kali ini lebih private, karena hanya melibatkan bu dokter, saya dan dua pasang suami istri yang sedang menunggu kelahiran anak mereka. Tanpa saya rencanakan, ternyata saya banyak bertanya, bahkan lebih aktif ketimbang dua pasang suami istri itu.

Tak hanya mendengarkan, seluruh pembicaraan dengan Dr. Utami saat itu saya rekam. Tujuannya, selain untuk bisa saya olah sebagai program di radio tempat saya bekerja, saya juga ingin menyimpannya di iPod sebagai konsumsi pribadi. Hingga kini, rekaman itu masih ada di playlist iPod saya, dan sesekali saya putar untuk teman yang membutuhkan informasi mengenai ASI.

Berbekal materi rekaman tersebut, saya kembali mencoba menjelaskan mengenai IMD dan ASI kepada Sessa, pacar saya. Proses “mencuci otak” pacar saya mengenai hal positif ini terus saya lakukan, tanpa menyerah. Hingga, pasangan saya ini pun tergugah, dan akhirnya mulai ikut penasaran. Ia pun setuju dengan saya bahwa informasi ini sangat penting, bahkan untuk diketahui oleh pasangan yang belum memiliki anak, dan jadi lebih baik lagi dipahami oleh pasangan yang belum menikah. Kenapa? Karena membuat persiapan menjadi lebih matang dan panjang.

Pada satu kesempatan, saya membawa Sessa ke seminar ASI, di saat (mungkin) lebih banyak pasangan memilih pacaran ke bioskop atau jalan ke mal. Saya mencoba inisiatif lain, pergi ke seminar, mencari ilmu, menerapkannya kelak, dan menyebarkan informasinya. Dalam seminar yang kami hadiri, jelas bahwa hanya kami berdua yang masih berstatus “pacaran”; namun hal itu tidak membuat kami minder dan ragu. Toh, hal ini akan berguna buat kami masing-masing kelak, kenapa harus takut?

Bekal pengetahuan dari seminar IMD dan ASI yang kami hadiri menyulut kami untuk mencoba menyebarluaskan informasi yang sangat baik ini. Kami bertingkah seolah kami adalah brand ambassador dari IMD dan ASI. “Pasien” pertama kami berdua ketika itu adalah kakak Sessa yang sedang menunggu kelahiran anak keduanya. Kebetulan, anak pertamanya bisa disebut gagal total dalam pemberian ASI, untuk itu kami yakin bahwa informasi ini jadi sangat berguna untuknya. Pertama, kami tegaskan bahwa IMD merupakan awal dari kesuksesan pemberian ASI. Kakaknya Sessa ini ternyata belum pernah mendengar istilah IMD, kami pun ambil peran untuk berbagi informasi dan pengetahuan mengenai hal itu. Hebatnya, semua berjalan lancar, proses IMD berlangsung mulus, dan ASI terus diberikan kepada anak keduanya hingga berusia dua tahun. Saya dan Sessa senang karena bisa membantu berbagi informasi penting ini.

Kami bangga dan ikut merasa lega meskipun belum menikah. Peristiwa ini membuat kami cukup percaya diri dan siap, ketika nanti giliran kami datang. Benang merah dari kisah awal saya mengetahui ASI hingga membantu kakak pacar saya bermuara pada kesimpulan, bahwa merencanakan jauh lebih awal akan lebih baik; karena, kita masih memiliki banyak waktu untuk menggali informasi lebih dalam dan mengantisipasi hal-hal yang diperlukan. Kini, Sessa pun menjadi mantan pacar saya, kami membangun keluarga kecil bersama putra pertama kami, Aikia Gung Xadika. :)

Aikia, melalui proses IMD dengan lancar; dan through thick and thin, hingga kini usianya 18 bulan, kami masih terus memberikan ASI padanya. Kami bersyukur karena bisa memberikan ASI dan segala yang terbaik untuk Aikia. ASI adalah susu yang tidak akan pernah bisa digantikan, dan jauh lebih bernilai dibandingkan susu merek apapun dengan harga berapapun. Seorang ibu telah dianugerahi ASI yang bisa diminum sepuasnya oleh anak. Kalau ada yang gratis, kenapa harus bayar? Lagipula, pemberian ASI juga bisa menghasilkan ASI lainnya, yaitu Anak Sayang Ibu.

*ditulis oleh Dipa Andika | Twitter: @dipaaa

Fathers and Breastfeeding

Dok. www.innermostsecrets.com
The father of a breastfeeding baby is an important part to the breastfeeding relationship. In ancient times, the men would go hunt while the women would stay close to camp tending children and gathering plants. Obviously this does not suit our active lifestyles today, but in essence much is the same...

It is imperative for the baby to have his mother close at hand. The breastfeeding relationship is based on supply and demand. This means that the mother needs to be close by her baby so that she can allow her baby to nurse as much as possible.
The father's role in this relationship is very important. The father of the baby can help to create a situation where mother and baby can be together. Many fathers fear that they won't be able to bond with the baby without feeding bottles. This is very far from the truth. Bonding doesn't occur through the ingestion of food through plastic. Bonding occurs through a physically, loving relationship.
There are many ways for a father to connect to his new infant. Bringing the baby to the mother to breastfeed is a great way to demonstrate to the baby that the father can, in fact, meet his baby's needs. His baby will be well aware of the fact that daddy is the transportation to the food.

Changing diapers, bathing, holding, carrying in a sling, singing, touching, massaging and just loving the baby are all ways that a father can bond with his baby. These are all crucial ways that a new father can develop a loving, trustful relationship with his child.

The other very important role of a breastfeeding father is as support to the mother. The early weeks of breastfeeding can be a time of exhaustion and confusion. This can be helped so much by an actively participating father. As the mother's support, the father can bring water, make food, and ensure that mom is getting plenty of rest.
A father being available to care for and nurture his baby is essential in allowing the mother time to tend her own needs.
As a baby grows into a child, she will see the consistent and loving care that dad has given to her and her mother. This will create a strong bond and a valuable trust relationship between father and child, which can help mom more than a few feedings ever will. As a father, you have the opportunity to help your child get the best possible nutrition (breast-milk) for her health. You baby and his mother will love you for it.

So, are you in? :)

Tuesday, September 27, 2011

Belum Terlambat untuk Belajar...



Let’s start with a problem. The biggest problem with becoming a dad these days; besides the stinging realization that you’re not the center of the known universe, is that no one tells you how to do it. We’re not like women, who seem to be in a lifelong training course for motherhood and who have a vast mommy-industrial complex of books and shows and magazines and expert friends at their disposal. The only experience we’ve had with fatherhood was through our own fathers – which, if you haven’t noticed, ain’t exactly the model for how things work anymore. In the intervening years, mom-and-dad lines have blurred. Your participation in the daily life you child is no longer merely interesting, it is required. You’re expected to know everything, only no one has ever thought you anything. But we’re here to tell you, knowledge is available.”

Kalimat itu terlontar dari Jim Nelson, penulis drama komedi sekaligus jurnalis kawakan yang memulai karier di dunia penyiaran lewat saluran televisi berita CNN, dan kini ia menduduki posisi pemimpin redaksi majalah Gentlemen’s Quarterly (GQ), Amerika Serikat.

Ketika itu, Jim menyajikan presentasi tentang proyek artikel besar bertajuk: A GQ Guide to Being a 21st – Century Dad, yang ditugaskannya kepada executive editor GQ, Andy Ward. Salah satu artikel jurnalisme gaya hidup paling penting dan menarik yang pernah saya baca. Diterbitkan di edisi Juni, 2007.

Pernyataan Jim Nelson itu pula yang terus melayang di dalam kepala saya selama proses menulis cerita tentang peran saya sebagai ayah yang mendukung pemberian Air Susu Ibu (ASI) di masa pertama kehidupan anak saya. Fase uji materi pertama seorang pria saat menjelma jadi seorang ayah.


Saya teringat, mantan presiden Amerika Serikat, Richard Nixon, sempat menyatakan kekaguman tertingginya kepada sang ayah saat pidato perpisahan dengan staf Gedung Putih. Ia sebutkan, bahwa ayahnya adalah pahlawan hidupnya. Seorang pembimbing, pelindung, sekaligus kawan baik.

Lepas dari itu, seorang teman, pegawai swasta kelas menengah di Jakarta, bercerita dengan penuh percaya diri; saat ia dan istrinya pulang kerja, buah hatinya itu lebih terperanjat melihat sosoknya, lelaki tambun yang juga ayah kandungnya.

Meskipun ada sang ibu yang kerap dianggap lebih kental adonan batinnya dengan si anak, anggapan saya, ayah lebih dipahami si anak sebagai tempatnya mengadu, mengeluh, mengharapkan pertolongan. Kenyataan yang, menurut anggapan saya lagi, magis.

Fakta itu menyadarkan saya secara penuh. Bahwa pada ruang perspektif tertentu, secara alamiah pria memiliki struktur yang berbeda dengan wanita, nyaris dalam semua hal. Fakta itu juga mencerahkan saya. Bahwa untuk menjalankan fungsi ayah secara maksimal, pria tidak perlu mentah-mentah menjelma menjadi seorang ibu berbadan lelaki.

Kenapa saya perlu sampai panjang lebar memaparkan persoalan di atas? Karena sebelumnya, saya merasa tidak cukup percaya diri, bahwa saya telah menjadi sosok ayah yang ideal.

Kenapa?

Saya adalah seorang suami dan ayah dari dua orang putri, si sulung berusia satu setengah tahun, si bungsu dua bulan. Saya berada di masa seorang ayah harus maksimal menunjukkan kredibilitasnya. Mulai dari saat-saat kehamilan istri saya, hingga dua tahun setelah kelahiran dua putri saya.

Saya sempat membaca berbagai artikel bertema parenting, atau buku-buku bagus dari dalam dan luar negeri yang menyuguhkan setumpuk nasehat untuk bekal menjadi orangtua yang ideal.

Di dalamnya, diulas tentang persiapan menjelang kelahiran, hingga yang perlu dilakukan setelahnya. Tentang seorang ayah harus memperkaya diri tentang informasi seputar ASI yang penting untuk masa tumbuh-kembang seorang anak, mendorong diri sendiri dan istri untuk melakoni konsultasi ke klinik laktasi, menjalankan fungsi dukungan terhadap istri dengan aktif melakukan shopping rumah sakit yang pro terhadap pemberian ASI ekslusif sejak Inisiasi Menyusui Dini (IMD), hingga konsultasi dengan dokter spesialis atau pakar laktasi untuk mengimbangi informasi dari sumber lain yang diperoleh istri (dari teman atau keluarga).

Kalau boleh jujur, tidak satu pun hal itu saya jalankan sebagai seorang suami dan calon ayah. So, I’m fucked up already.

Entah karena kepedulian yang tipis, ego pria yang mau enaknya saja menunggu kelahiran anak pertama, atau sekadar malas. Yang jelas, dan entah kenapa, saya meyakini, tidak sedikit pria yang merasa seburuk saya. Hal ini pun membuat saya tidak tergerak dari pengetahuan tentang menjadi ayah yang ideal. Saya, murni mengandalkan intuisi dan reaksi alami sebagai seorang pria.

Sepanjang masa kehamilan pertama istri, tidak ada sejengkal pun aktivitas yang saya korbankan. Saya tetap sibuk bekerja, asyik membaca buku dan menonton DVD, bahkan meninggalkannya nongkrong dengan teman-teman saya dan latihan band.

Ia berpikir, jika membiarkan saya bebas melakukan apapun yang saya suka, maka saya akan merasa senang. Jika saya merasa senang, maka saya pun akan membuatnya senang. Jika ia senang, ia percaya bahwa anak kami akan baik-baik saja, proses persalinan dan ASI-nya kelak akan lancar, tidak ada masalah.

Dan, ia benar. Anak pertama kami lahir tanpa hambatan, normal dan alami. Seorang anak perempuan cantik yang saya beri nama: Belvanya Namaira Arsyani. Panggilannya: Anya.

Tak hanya selama masa kehamilan hingga persalinan, sampai saat putri kami sudah di rumah pun saya masih belum menunjukkan tanda-tanda sadar tentang pentingnya peran ideal saya sebagai seorang ayah. Saya tidak menjadi lebih sering menelepon ke rumah, atau menanyakan tentang lancar atau tidaknya ASI. Mengingat satu-satunya asupan anak saya saat itu adalah air susu ibunya.

Saya tahu bahwa ASI itu bagus untuk si anak. Tapi saya belum menyadari seberapa besar pentingnya. Saya mendukung pemberian ASI oleh istri saya kepada anak, karena itu keinginan istri saya. Dia terbiasa tidak bergantung kepada saya sejak kami pacaran, karena memang saya tidak pernah menjadi pria yang penuh perhatian pada hal-hal di luar kepentingan saya. Dan ia paham betul itu; tanpa protes atau keluhan ia membekali diri tanpa campur tangan saya.

Saya sendiri? Saya hanya percaya bahwa ia tahu apa yang terbaik untuk anak kami. Kalau pun saat itu, ia memilih susu formula, saya harus jujur bahwa besar kemungkinan saya akan mengamininya. Tapi ia tidak melakukan itu.

Istri saya terus mendorong saya memahami pentingnya ASI lewat cara lain. Ia meminta saya membantunya untuk mengatur posisi yang nyaman saat menyusui putri kami; selepas itu ia memanggil saya untuk menggendong Anya hingga si kecil gelegekan alias bersendawa; ia minta pertolongan saya untuk menimang anak kami hingga tertidur lelap.

Kebetulan, saat itu saya seorang jurnalis, pekerja media, yang kerap terjaga sampai pukul tiga dini hari. Sehingga bangun malam di masa satu sampai tiga bulan pertama tidak menjadi persoalan. Yang istri saya lakukan adalah menelepon saya di ruang kerja dari kamar saat Anya terbangun. Lalu, saya masuk dan kembali menimangnya sampai ia kembali tidur.

Sepuluh menit...

Si kecil masih rewel, saya pun menyanyikannya lagu-lagu yang saya anggap menenangkan. Kebanyakan lagu-lagu dari film animasi klasik Walt Disney.

Dua puluh menit...

Si kecil masih rewel, saya lalu menanyakan kepada istri saya, “Mungkin dia haus?” Jika istri saya merasa nyaman ia akan menyusuinya. Jika tidak, saya pun tetap menimangnya sambil terus bernyanyi. Hanya kali ini, saya rekatkan dekapan saya, saya dekatkan senandung saya ke telinganya.

Tanpa tekanan, tapi dilibatkan, saya perlahan menjalankan fungsi sebagai ayah yang mendukung proses pemberian ASI kepada anak saya.

Seiring waktu, saya pun mulai terbiasa dan menikmati peran baru saya sebagai ayah. Selain semua hal kecil tadi, saya pun bersemangat belajar mengganti popok, mengenakan pakaian si kecil setelah mandi, membalurinya dengan minyak telon, cream, hingga pewangi rambut. “Anak saya kelak, harus jadi perempuan yang bisa bikin pria manapun jungkir balik.” Begitu pikir saya.

Lepas tiga bulan, ada persoalan baru, istri saya sudah habis masa cutinya dan harus kembali bekerja di kantor. Buat saya? Jadi ada tugas baru. Yaitu, disuruh rajin-rajin minum You C-1000, karena botolnya bisa digunakan untuk ASI perahan.

Masa istri saya berjuang menyediakan ASI perahan yang cukup berlangsung sampai Anya berusia enam bulan, dan kami pun mulai memutuskan untuk menawarkannya alternatif asupan selain ASI, atau lazim disebut makanan pendamping ASI.


Mengingat itu saya lega, misi ASI eksklusif telah tercapai.

Memasuki fase memberikan makanan pendamping ASI, istri saya mengajukan tawaran: “Ayah aja yang masakin Anya ya?” Ah, ini akal-akalan, karena istri saya tahu persis bahwa saya suka mencoba sesuatu yang baru, dan ia juga tahu persis bahwa saya suka sok-sokan bisa masak. Ditambah lagi, jam kerja saya tidak mengharuskan saya berangkat pagi buta. Sehingga saya punya cukup waktu untuk bereksperimen dengan aneka jus buah dan purée.

Saya pun bersemangat, sampai memburu buku resep sembari melakukan hobi saya menjajah toko buku. Kelamaan, menyiapkan makanan Anya setiap pagi jadi hobi tambahan saya.

Tanpa saya sadari, saya sudah membantu istri saya mengatur asupan anak kami. Karena, ternyata istri saya sudah pusing memikirkan persediaan ASI yang diperahnya dari kantor ke botol-botol kecil, agar mencukupi kebutuhan anak kami hingga ia pulang bekerja. Itu pun belum termasuk saat malam hari ia kembali memeras ASI dari payudaranya untuk keesokan hari. Karena meskipun sudah asupan lain, istri saya tetap memberikan ASI untuk Anya. Ia berencana terus melakukannya hingga si anak mencapai usia dua tahun.

Kembali ke soal menyiapkan jus atau purée, tugas pagi hari saya tidak sampai di situ. Karena begitu makanannya siap, baby-sitter kami pun langsung memberikannya kepada Anya. Ternyata, pada awalnya ada resistensi dari si kecil, ia menolak dan menangis. Perhatian saya yang sudah harus bersiap ke kantor pun tercuri dan ikut berpikir tentang cara membuatnya berselera makan.

Lagi-lagi saya mengandalkan apa yang bisa saya lakukan. Saya ambil gitar, lalu saya duduk di depan Anya dan baby sitter. Saat saya memetik senar satu, dua, dan tiga, anak saya tertegun. Ia diam dan matanya mengamati saya dan gitar di pangkuan saya. Saya pun memetik penuh kunci E mayor. Senyum paling indah yang pernah saya lihat pun terlukis di wajah anak saya.

Satu lagu saya mainkan hingga tuntas. Setengah tempat makannya ia lahap tanpa ampun. Peran saya kali ini, tanpa permintaan istri saya.

Semua proses itu banyak membantu dan mencerahkan saya. Hingga, saya terbiasa menjalaninya. Tanpa setitik pun rasa tertekan atau stres menghadapi bayi yang baru lahir sampai detik ini. Saya senang. Istri saya senang. Kami senang, dan anak kami pun tumbuh menjadi seorang  anak yang nyengir setiap kali melihat kami.

Anya mendapatkan ASI hingga ia menjelang usia sepuluh bulan. Berhenti di tengah kehamilan istri saya. Calon anak kedua kami. Rencana menyusui ASI hingga usia dua tahun pun kandas.

Di saat bersamaan, persoalan baru muncul. Ada berbagai opini meluncur, dan menyerangnya untuk menghentikan ASI terhadap Anya. Argumennya, ASI yang diberikan sudah tidak bagus karena ada perubahan hormonal, sampai kekhawatiran bahwa si kecil di kandungan tidak akan mendapatkan asupan yang cukup jika kakaknya tetap menyerap ASI dari si ibu.

Saya terpengaruh. Tapi hebatnya, istri saya tidak. Sejak kehamilannya terdeteksi, ia tetap menyusui Anya. Sampai putri pertama kami itu berhenti dengan sendirinya. Lalu, kami pun mengganti asupannya dengan susu formula. Belakangan saya mengetahui istilahnya: self weaning.

Ironisnya, di saat Anya sudah secara penuh mengasup susu formula, saya ditemukan dengan komunitas pro ASI untuk urusan pekerjaan. Saya baru belajar dari nol, tentang seberapa pentingnya ASI. Saya menceritakannya dengan antusias kepada istri saya. Ia hanya menjawab santai, “Kemane aje?”

Saya baru mulai mendengar tentang konsultasi laktasi, teknik dan posisi yang benar, donor ASI, dan lainnya. Saya merasa bodoh. Saya pun memutuskan untuk belajar tentang ASI. Belum terlambat, karena saya akan segera punya anak kedua. Lagi-lagi saya tidak perlu memaksakan diri untuk peduli di luar minat saya, tapi setidaknya kali ini saya menerimanya dengan kesadaran penuh, tentang hal yang terbaik untuk anak saya. Kesadaran saya itu yang membuat saya berminat belajar dengan serius.

Dan ketika putri kedua saya lahir, Aksara Milea Arsyani (Mili), saya jadi lebih aware dan memperhatikan urusan Inisiasi Menyusui Dini (IMD), dan hal-hal lain yang saya anggap menunjukkan dukungan saya terhadap istri untuk memberikan ASI kepada Mili.

Karena, pada akhirnya saya sadar, bahwa kini batas-batas antara urusan ibu dan ayah dalam hal parenting sudah melebur. Soal ini bukan sekadar urusan domestik, dan secara alamiah seorang ayah memang tidak bisa dijauhkan dari proses ini.

Khusus untuk urusan ASI, memang ibu yang punya kapasitas khusus untuk memberikannya kepada si anak. Tapi, tempat si anak mengadu dan berteriak dalam tangisnya, saya anggap ditujukan kepada ayah. Agar si ayah menemaninya, membimbingnya, menjadi temannya menunggu, sampai si ibu memberikan ASI-nya.

<iframe width="420" height="315" src="http://www.youtube.com/embed/n7qrtVoB3ds" frameborder="0" allowfullscreen></iframe>

Kesimpulan saya ini menjawab alasan pernyataan mantan presiden Amerika Serikat, Richard Nixon di awal cerita ini. Dan juga jawaban atas terperanjatnya seorang bocah melihat ayahnya, teman saya, pulang kantor. Si bocah mungkin menginginkan belai lembut kasih sayang ibunya, tapi ia terlampau gembira melihat ayahnya, sosok tempatnya meminta pertolongan jika si ibu sedang letih.

Selain itu...

Kenapa Jim Nelson di prolog cerita ini menyatakan, “The only experience we’ve had with fatherhood was through our own fathers – which, if you haven’t noticed, ain’t exactly the model for how things work anymore”? Karena memang penerapannya terus berubah.

Karena itu pula, saya tertarik menceritakannya di sini. Saya berharap, memberikan kontribusi positif untuk dunia per-ayah-an. Agar kita tidak lagi sekadar berkaca dari figur ayah kita, tapi juga belajar banyak dari ayah-ayah lain yang berproses di masa yang lebih relevan.

At the end of the day, what we have to do is figure out what the hell we’re doing. Don’t worry, quit crying, and keep reading! Cheers!

*ditulis oleh Syarief Hidayatullah | Twitter: @bangaip