Banyak hal yang saya dan istri diskusikan selama kami bersama, sejak masih berpacaran. Mulai dari urusan agama, politik, sampai beragam hal yang kami inginkan dalam hidup saat itu, kini, dan nanti. Secara umum, kami sebagai pasangan, tidak tergolong sepasang pria dan perempuan yang ambisius. Istri saya, ketika masih kuliah dulu, punya cita-cita sangat sederhana: ia ingin berkantor di ruangan dengan fasilitas air conditioning (AC); begitu sederhananya, hingga saya jatuh cinta setengah mati padanya.
Belakangan cita-cita sederhana yang mencuri hati saya itu berubah. Ia ingin buka warung yang berlokasi di Sekolah Dasar (SD) Negeri! Kenapa? Karena ia pikir bisa ngasih utang kepada si anak-anak SD itu. Isn’t she’s great?
Saya sendiri tidak punya cita-cita yang terlampau jauh; hanya satu hal yang cukup ambisius saya pikirkan, yaitu mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk menonton World Cup atau Euro Cup secara langsung! Walaupun, belakangan saya mulai merevisi keinginan itu, dan mengalihkannya ke rencana membuka kafe atau bahkan bermalas-malasan sembari membaca buku seharian.
Sepotong kisah tentang istri saya yang tidak njelimet dan sederhana, serta saya yang juga tidak berbeda jauh, mungkin terkesan tidak penting; namun, hal ini yang menjadi landasan kami memberi nama putri pertama kami, Jaseena; bahasa Arab yang berarti berhati baik. Kenapa? Karena kami tidak minta banyak hal dan berlebihan, kami hanya berharap anak kami punya hati yang baik. Kami percaya, hati yang bersih dan baik merupakan modal utama seseorang bahagia dalam jalur hidup pilihannya.
Nama tenganya adalah Akiela yang berarti cerdas. Hati yang baik akan lebih lengkap jika ia tumbuh menjadi manusia yang cerdas, tahu apa yang dia lakukan, konsekuensi, dan bertanggungjawab. Karena kami sadar tidak selamanya ada untuknya, dua hal itu saja, sudah membuat kami cukup tenang.
Sementara itu, lepas dari harapan kami pun berniat berusaha sekuat tenaga memberikan yang terbaik untuk anak kami, sejak ia lahir. Bagian ini adalah tanggungjawab dan kewajiban kami sebagai orangtua. Saya dan istri sepakat melabelkan diri sebagai orangtua “garis keras”.
Sesaat setelah saya mengetahui istri saya positif hamil, dan usianya sudah dua minggu, saya senang bukan kepalang! Namun, sejenak kemudian saya langsung berpikir bahwa saya sama sekali tidak mengetahui, apa yang harus dilakukan dan saya persiapkan selama masa kehamilan? Saat itu, saya mulai menjaring berbagai informasi, dan melakukan riset pribadi tentang hal-hal yang berkaitan dengan masa kehamilan dan kelahiran.
Seiring dengan masa saya mengumpulkan berbagai informasi yang saya dan istri butuhkan, saya pun menemukan bahwa komersialisasi bidang kesehatan di Indonesia berada di titik yang menyedihkan. Pemerintah, bahkan seperti menutup mata dari beragam isu kesehatan publik. Maka, saya pun berkomitmen untuk mendukung istri menjalani proses kehamilan hingga persalinan sealamiah mungkin, dan menjadi konsumen kesehatan yang bertanggungjawab.
Saya mulai proses riset dengan bergabung ke beberapa komunitas kesehatan dan mulai belajar tenang hal-hal disekitarnya, termasuk tentang Inisiasi Menyusui Dini (IMD), dan pentingnya pemberian Air Susu Ibu (ASI). Kami percaya dan sepakat proses IMD selama melahirkan dan pemberian ASI setelah melahirkan adalah hal yang sangat penting dalam bagian usaha kami untuk membesarkan anak dengan cara terbaik. Hal itulah yang menjadi pertimbangan kami dalam memilih dokter kandungan dan juga rumah sakit untuk tempat melahirkan anak kami.
Setelah sempat pindah dokter, sampai berkunjung ke beberapa rumah sakit, saya dan istri sepakat untuk mendarat di rumah sakit St. Carolus, dengan bantuan dr. Ekarini. Meskipun rumah sakit itu terkesan spooky dan kerap memancing bulu kuduk berdiri karena merupakan salah satu rumah sakit tertua di Jakarta; namun rumah sakit itu punya sederet suster sekaligus bidan yang sabar menjelaskan tentang prosedur IMD dan kebijakan rawat gabung.
Tak hanya itu, mereka pun mengajarkan calon orangtua mengganti popok, memandikan, sampai menepuk-nepuk bayi setelah menyusui. Para bidan ini menekankan pentingnya proses bonding secepat mungkin antara orangtua dan anaknya.
Selain bergabung dalam komunitas kesehatan hingga shopping rumah sakit, saya juga mengandalkan internet untuk mengumpulkan informasi. Mulai dari browsing, sampai menyambangi berbagai forum dan mailing-list. Biasanya mudah ditemui beragam cerita pengalaman melahirkan dan hal-hal lain yang terjadi di seputar prosesnya. Sebelum hunting rumah sakit, saya juga mencari paket keterangan lengkap, dari rumah sakit yang pro ASI, sampai dokter yang ideal berdasarkan pengalaman, umur, bahkan jenis kelaminnya; sebelum kemudian menemui si dokter dan memutuskan pilihan.
Beberapa pertanyaan saya siapkan untuk memastikan kami menemui dokter yang tepat. Kami memastikan si dokter pro proses kelahiran normal, memintanya menjelaskan: pada kondisi apa kami harus mengambil prosedur operasi Caesar? Serta alternatifnya; semua kami sudah siapkan bekal jawaban dari riset di internet sebagai bahan perbandingan dengan keterangan si dokter.
Intinya, ketika berhadapan dengan dokter sebaiknya jangan sungkan atau malu bertanya. Kita ini penikmat jasa yang berhak mengajukan pertanyaan apapun yang relevan. Pernyataan dokter itu pun bisa kita catat dan riset ulang untuk memastikan validitasnya; apakah dokter sudah memberikan jawaban yang benar dan masuk akal? Selebihnya tinggal faktor kenyamanan dan kepercayaan atas dokter tersebut. Dua hal terakhir ini pun tak kalah penting.
Setelah proses panjang, akhirnya tiba waktunya kelahiran putri pertama kami; setelah istri saya berjuang sejak pukul empat sore, hingga nyaris pukul satu dini hari berikutnya, anak kami lahir dengan sehat sempurna dengan proses normal. Perjuangan istri saya yang luar biasa sekaligus menegangkan membuat saya membatin, bahwa pelajaran utama untuk kelak saya mendidik anak saya adalah: hormati ibumu nak!
Sesaat setelah lahir, anak kami langsung diletakkan di perut ibunya untuk menjalani proses IMD, sembari saya membisikkan kalimat-kalimat Adzan di telinganya. Kebahagian kami memuncak ketika putri kami menemukan puting ibunya dan mulai menyusui untuk pertama kalinya. Meskipun anak kami sempat dapat diagnosa kuning sehingga perlu disinar dan tinggal lebih lama di rumah sakit, dan istri saya sempat operasi karena ada pendarahan dalam akibat proses persalinan; selebihnya prosesnya relatif lancar hingga kami pulang ke rumah sebagai keluarga yang lengkap.
Istri saya menyusui dengan lancar sampai tiba waktunya ia kembali bekerja. Stok ASI perah (ASIP) yang sudah ditabung selama masa cuti pun siap tanpa hambatan. Meskipun demikian, satu bulan pertama kelahiran anak pertama kami benar-benar jadi ujian untuk kami. Istri saya bangun nyaris setiap tiga jam di malam hari untuk menyusui, dan saya ikut bangun untuk membantu mengganti popok dan menemani istri di saat ia menyusui Jaseena.
Ketika itu, mungkin kami merasa sangat lelah, tapi sekarang, sungguh saya merindukan masa-masa itu. Masa ketika putri kecil saya tidur dipelukan saya setelah saya sendawakan dia. Holding her at that moment is the best feeling I ever had.Saat istri saya kembali bekerja, peralatan ASIP pun disiapkan untuk digunakan oleh mbak Inem yang membantu kami merawat Jaseena selama istri saya bekerja. Mbak Inem sudah dilatih untuk memberikan anak kami ASIP dengan soft-cup. Sebelumnya, kami sempat mencoba memberikan anak kami ASIP dengan sendok, ternyata ia tidak cukup sabar menunggu jeda di antara setiap sendokan ASI, tangisnya pun semakin menjadi. Ternyata soft-cup adalah solusi, hingga anak kami tak perlu menunggu setiap sendokan. Alhamdulillah, semua berjalan lancar.
Seiring waktu muncul “diskusi” antara saya dan istri, terutama dari istri saya yang mempertimbangkan untuk berhenti bekerja karena merasakan penurunan keterikatan dengan si anak. Ia khawatir, jika terus bekerja akan kehilangan masa-masa bonding yang sedang kental terbentuk; padahal ketika itu istri saya memiliki karier yang bagus.
Namun, kembali ke kisah di awal cerita ini, bahwa kami bukan pasangan yang muluk-muluk. Artinya, kami tidak perlu ambisius mencari uang berlebihan, karena yang terpenting adalah cukup menghidupi sekeluarga dengan layak. Jika istri saya memang ingin berhenti, saya mendukungnya. Maka, ketika itu, keputusan ada di tangan istri saya.
Saat istri saya positif berhenti bekerja, saya mendukungnya, bahwa terus terang saya senang karena ia mau menjadi full time-mom. Sejak itu, istri saya bisa memberikan ASI secara langsung kepada anak kami. Jujur, sebelum punya anak, istri saya bukan tipe keibuan, dan ia pun minim pengalaman berinteraksi dengan anak kecil, apalagi bayi. Saya pun terus member semangat dan dukungan, diimbangi dengan kekuatan hatinya; saya tak pernah bisa mengungkapkan kekaguman dan pujian atas usahanya yang luar biasa.
Perlahan tapi pasti, rasa percaya diri istri saya pun terbentuk dan semakin kokoh. Kenyamanan dan kelihaian ia berinteraksi “memegang” anak semakin lugas terlihat. Proses dan interaksi yang mesra dan lucu antara istri dan anak saya kerap membuat saya iri. Benar, menyusui anak adalah anugerah besar yang bisa dilakukan seorang ibu kepada anaknya. It’s magical and I just wish that I can have that kind of bonding. But I know it is the gift of a mother to her child which cannot be replicated. Seorang ayah hanya bisa bersyukur atas segala karunia kehidupan yang telah diberikan Tuhan.
Semoga semua hal yang saya dan istri lakukan selama ini adalah yang terbaik untuk Jaseena, dan bukan karena ego kami sebagai orangtua. Dan untuk putri kecil kami, terima kasih karena telah memilih kami sebagai orang tuamu. We will try our best. This is my promise to you, and we love you so much!
*ditulis oleh Pandu Gunawan | Twitter: @sipandu
great!
ReplyDeletebikin nangis...:(
ReplyDeletekeren banget !
huaaaaaaaaaa...kewwwwlll...salut abisss untuk weni+handu...totally insipiring me deeply...teteuph smangaaat+suksees yaaa..mohon doakan diriku bisa kasih ASI sampe 2tahun untuk anak ke2 yah..scara anak pertama cm bs sampe 16bulan..hiks >_<,
ReplyDelete