Tuesday, September 27, 2011

Belum Terlambat untuk Belajar...



Let’s start with a problem. The biggest problem with becoming a dad these days; besides the stinging realization that you’re not the center of the known universe, is that no one tells you how to do it. We’re not like women, who seem to be in a lifelong training course for motherhood and who have a vast mommy-industrial complex of books and shows and magazines and expert friends at their disposal. The only experience we’ve had with fatherhood was through our own fathers – which, if you haven’t noticed, ain’t exactly the model for how things work anymore. In the intervening years, mom-and-dad lines have blurred. Your participation in the daily life you child is no longer merely interesting, it is required. You’re expected to know everything, only no one has ever thought you anything. But we’re here to tell you, knowledge is available.”

Kalimat itu terlontar dari Jim Nelson, penulis drama komedi sekaligus jurnalis kawakan yang memulai karier di dunia penyiaran lewat saluran televisi berita CNN, dan kini ia menduduki posisi pemimpin redaksi majalah Gentlemen’s Quarterly (GQ), Amerika Serikat.

Ketika itu, Jim menyajikan presentasi tentang proyek artikel besar bertajuk: A GQ Guide to Being a 21st – Century Dad, yang ditugaskannya kepada executive editor GQ, Andy Ward. Salah satu artikel jurnalisme gaya hidup paling penting dan menarik yang pernah saya baca. Diterbitkan di edisi Juni, 2007.

Pernyataan Jim Nelson itu pula yang terus melayang di dalam kepala saya selama proses menulis cerita tentang peran saya sebagai ayah yang mendukung pemberian Air Susu Ibu (ASI) di masa pertama kehidupan anak saya. Fase uji materi pertama seorang pria saat menjelma jadi seorang ayah.


Saya teringat, mantan presiden Amerika Serikat, Richard Nixon, sempat menyatakan kekaguman tertingginya kepada sang ayah saat pidato perpisahan dengan staf Gedung Putih. Ia sebutkan, bahwa ayahnya adalah pahlawan hidupnya. Seorang pembimbing, pelindung, sekaligus kawan baik.

Lepas dari itu, seorang teman, pegawai swasta kelas menengah di Jakarta, bercerita dengan penuh percaya diri; saat ia dan istrinya pulang kerja, buah hatinya itu lebih terperanjat melihat sosoknya, lelaki tambun yang juga ayah kandungnya.

Meskipun ada sang ibu yang kerap dianggap lebih kental adonan batinnya dengan si anak, anggapan saya, ayah lebih dipahami si anak sebagai tempatnya mengadu, mengeluh, mengharapkan pertolongan. Kenyataan yang, menurut anggapan saya lagi, magis.

Fakta itu menyadarkan saya secara penuh. Bahwa pada ruang perspektif tertentu, secara alamiah pria memiliki struktur yang berbeda dengan wanita, nyaris dalam semua hal. Fakta itu juga mencerahkan saya. Bahwa untuk menjalankan fungsi ayah secara maksimal, pria tidak perlu mentah-mentah menjelma menjadi seorang ibu berbadan lelaki.

Kenapa saya perlu sampai panjang lebar memaparkan persoalan di atas? Karena sebelumnya, saya merasa tidak cukup percaya diri, bahwa saya telah menjadi sosok ayah yang ideal.

Kenapa?

Saya adalah seorang suami dan ayah dari dua orang putri, si sulung berusia satu setengah tahun, si bungsu dua bulan. Saya berada di masa seorang ayah harus maksimal menunjukkan kredibilitasnya. Mulai dari saat-saat kehamilan istri saya, hingga dua tahun setelah kelahiran dua putri saya.

Saya sempat membaca berbagai artikel bertema parenting, atau buku-buku bagus dari dalam dan luar negeri yang menyuguhkan setumpuk nasehat untuk bekal menjadi orangtua yang ideal.

Di dalamnya, diulas tentang persiapan menjelang kelahiran, hingga yang perlu dilakukan setelahnya. Tentang seorang ayah harus memperkaya diri tentang informasi seputar ASI yang penting untuk masa tumbuh-kembang seorang anak, mendorong diri sendiri dan istri untuk melakoni konsultasi ke klinik laktasi, menjalankan fungsi dukungan terhadap istri dengan aktif melakukan shopping rumah sakit yang pro terhadap pemberian ASI ekslusif sejak Inisiasi Menyusui Dini (IMD), hingga konsultasi dengan dokter spesialis atau pakar laktasi untuk mengimbangi informasi dari sumber lain yang diperoleh istri (dari teman atau keluarga).

Kalau boleh jujur, tidak satu pun hal itu saya jalankan sebagai seorang suami dan calon ayah. So, I’m fucked up already.

Entah karena kepedulian yang tipis, ego pria yang mau enaknya saja menunggu kelahiran anak pertama, atau sekadar malas. Yang jelas, dan entah kenapa, saya meyakini, tidak sedikit pria yang merasa seburuk saya. Hal ini pun membuat saya tidak tergerak dari pengetahuan tentang menjadi ayah yang ideal. Saya, murni mengandalkan intuisi dan reaksi alami sebagai seorang pria.

Sepanjang masa kehamilan pertama istri, tidak ada sejengkal pun aktivitas yang saya korbankan. Saya tetap sibuk bekerja, asyik membaca buku dan menonton DVD, bahkan meninggalkannya nongkrong dengan teman-teman saya dan latihan band.

Ia berpikir, jika membiarkan saya bebas melakukan apapun yang saya suka, maka saya akan merasa senang. Jika saya merasa senang, maka saya pun akan membuatnya senang. Jika ia senang, ia percaya bahwa anak kami akan baik-baik saja, proses persalinan dan ASI-nya kelak akan lancar, tidak ada masalah.

Dan, ia benar. Anak pertama kami lahir tanpa hambatan, normal dan alami. Seorang anak perempuan cantik yang saya beri nama: Belvanya Namaira Arsyani. Panggilannya: Anya.

Tak hanya selama masa kehamilan hingga persalinan, sampai saat putri kami sudah di rumah pun saya masih belum menunjukkan tanda-tanda sadar tentang pentingnya peran ideal saya sebagai seorang ayah. Saya tidak menjadi lebih sering menelepon ke rumah, atau menanyakan tentang lancar atau tidaknya ASI. Mengingat satu-satunya asupan anak saya saat itu adalah air susu ibunya.

Saya tahu bahwa ASI itu bagus untuk si anak. Tapi saya belum menyadari seberapa besar pentingnya. Saya mendukung pemberian ASI oleh istri saya kepada anak, karena itu keinginan istri saya. Dia terbiasa tidak bergantung kepada saya sejak kami pacaran, karena memang saya tidak pernah menjadi pria yang penuh perhatian pada hal-hal di luar kepentingan saya. Dan ia paham betul itu; tanpa protes atau keluhan ia membekali diri tanpa campur tangan saya.

Saya sendiri? Saya hanya percaya bahwa ia tahu apa yang terbaik untuk anak kami. Kalau pun saat itu, ia memilih susu formula, saya harus jujur bahwa besar kemungkinan saya akan mengamininya. Tapi ia tidak melakukan itu.

Istri saya terus mendorong saya memahami pentingnya ASI lewat cara lain. Ia meminta saya membantunya untuk mengatur posisi yang nyaman saat menyusui putri kami; selepas itu ia memanggil saya untuk menggendong Anya hingga si kecil gelegekan alias bersendawa; ia minta pertolongan saya untuk menimang anak kami hingga tertidur lelap.

Kebetulan, saat itu saya seorang jurnalis, pekerja media, yang kerap terjaga sampai pukul tiga dini hari. Sehingga bangun malam di masa satu sampai tiga bulan pertama tidak menjadi persoalan. Yang istri saya lakukan adalah menelepon saya di ruang kerja dari kamar saat Anya terbangun. Lalu, saya masuk dan kembali menimangnya sampai ia kembali tidur.

Sepuluh menit...

Si kecil masih rewel, saya pun menyanyikannya lagu-lagu yang saya anggap menenangkan. Kebanyakan lagu-lagu dari film animasi klasik Walt Disney.

Dua puluh menit...

Si kecil masih rewel, saya lalu menanyakan kepada istri saya, “Mungkin dia haus?” Jika istri saya merasa nyaman ia akan menyusuinya. Jika tidak, saya pun tetap menimangnya sambil terus bernyanyi. Hanya kali ini, saya rekatkan dekapan saya, saya dekatkan senandung saya ke telinganya.

Tanpa tekanan, tapi dilibatkan, saya perlahan menjalankan fungsi sebagai ayah yang mendukung proses pemberian ASI kepada anak saya.

Seiring waktu, saya pun mulai terbiasa dan menikmati peran baru saya sebagai ayah. Selain semua hal kecil tadi, saya pun bersemangat belajar mengganti popok, mengenakan pakaian si kecil setelah mandi, membalurinya dengan minyak telon, cream, hingga pewangi rambut. “Anak saya kelak, harus jadi perempuan yang bisa bikin pria manapun jungkir balik.” Begitu pikir saya.

Lepas tiga bulan, ada persoalan baru, istri saya sudah habis masa cutinya dan harus kembali bekerja di kantor. Buat saya? Jadi ada tugas baru. Yaitu, disuruh rajin-rajin minum You C-1000, karena botolnya bisa digunakan untuk ASI perahan.

Masa istri saya berjuang menyediakan ASI perahan yang cukup berlangsung sampai Anya berusia enam bulan, dan kami pun mulai memutuskan untuk menawarkannya alternatif asupan selain ASI, atau lazim disebut makanan pendamping ASI.


Mengingat itu saya lega, misi ASI eksklusif telah tercapai.

Memasuki fase memberikan makanan pendamping ASI, istri saya mengajukan tawaran: “Ayah aja yang masakin Anya ya?” Ah, ini akal-akalan, karena istri saya tahu persis bahwa saya suka mencoba sesuatu yang baru, dan ia juga tahu persis bahwa saya suka sok-sokan bisa masak. Ditambah lagi, jam kerja saya tidak mengharuskan saya berangkat pagi buta. Sehingga saya punya cukup waktu untuk bereksperimen dengan aneka jus buah dan purée.

Saya pun bersemangat, sampai memburu buku resep sembari melakukan hobi saya menjajah toko buku. Kelamaan, menyiapkan makanan Anya setiap pagi jadi hobi tambahan saya.

Tanpa saya sadari, saya sudah membantu istri saya mengatur asupan anak kami. Karena, ternyata istri saya sudah pusing memikirkan persediaan ASI yang diperahnya dari kantor ke botol-botol kecil, agar mencukupi kebutuhan anak kami hingga ia pulang bekerja. Itu pun belum termasuk saat malam hari ia kembali memeras ASI dari payudaranya untuk keesokan hari. Karena meskipun sudah asupan lain, istri saya tetap memberikan ASI untuk Anya. Ia berencana terus melakukannya hingga si anak mencapai usia dua tahun.

Kembali ke soal menyiapkan jus atau purée, tugas pagi hari saya tidak sampai di situ. Karena begitu makanannya siap, baby-sitter kami pun langsung memberikannya kepada Anya. Ternyata, pada awalnya ada resistensi dari si kecil, ia menolak dan menangis. Perhatian saya yang sudah harus bersiap ke kantor pun tercuri dan ikut berpikir tentang cara membuatnya berselera makan.

Lagi-lagi saya mengandalkan apa yang bisa saya lakukan. Saya ambil gitar, lalu saya duduk di depan Anya dan baby sitter. Saat saya memetik senar satu, dua, dan tiga, anak saya tertegun. Ia diam dan matanya mengamati saya dan gitar di pangkuan saya. Saya pun memetik penuh kunci E mayor. Senyum paling indah yang pernah saya lihat pun terlukis di wajah anak saya.

Satu lagu saya mainkan hingga tuntas. Setengah tempat makannya ia lahap tanpa ampun. Peran saya kali ini, tanpa permintaan istri saya.

Semua proses itu banyak membantu dan mencerahkan saya. Hingga, saya terbiasa menjalaninya. Tanpa setitik pun rasa tertekan atau stres menghadapi bayi yang baru lahir sampai detik ini. Saya senang. Istri saya senang. Kami senang, dan anak kami pun tumbuh menjadi seorang  anak yang nyengir setiap kali melihat kami.

Anya mendapatkan ASI hingga ia menjelang usia sepuluh bulan. Berhenti di tengah kehamilan istri saya. Calon anak kedua kami. Rencana menyusui ASI hingga usia dua tahun pun kandas.

Di saat bersamaan, persoalan baru muncul. Ada berbagai opini meluncur, dan menyerangnya untuk menghentikan ASI terhadap Anya. Argumennya, ASI yang diberikan sudah tidak bagus karena ada perubahan hormonal, sampai kekhawatiran bahwa si kecil di kandungan tidak akan mendapatkan asupan yang cukup jika kakaknya tetap menyerap ASI dari si ibu.

Saya terpengaruh. Tapi hebatnya, istri saya tidak. Sejak kehamilannya terdeteksi, ia tetap menyusui Anya. Sampai putri pertama kami itu berhenti dengan sendirinya. Lalu, kami pun mengganti asupannya dengan susu formula. Belakangan saya mengetahui istilahnya: self weaning.

Ironisnya, di saat Anya sudah secara penuh mengasup susu formula, saya ditemukan dengan komunitas pro ASI untuk urusan pekerjaan. Saya baru belajar dari nol, tentang seberapa pentingnya ASI. Saya menceritakannya dengan antusias kepada istri saya. Ia hanya menjawab santai, “Kemane aje?”

Saya baru mulai mendengar tentang konsultasi laktasi, teknik dan posisi yang benar, donor ASI, dan lainnya. Saya merasa bodoh. Saya pun memutuskan untuk belajar tentang ASI. Belum terlambat, karena saya akan segera punya anak kedua. Lagi-lagi saya tidak perlu memaksakan diri untuk peduli di luar minat saya, tapi setidaknya kali ini saya menerimanya dengan kesadaran penuh, tentang hal yang terbaik untuk anak saya. Kesadaran saya itu yang membuat saya berminat belajar dengan serius.

Dan ketika putri kedua saya lahir, Aksara Milea Arsyani (Mili), saya jadi lebih aware dan memperhatikan urusan Inisiasi Menyusui Dini (IMD), dan hal-hal lain yang saya anggap menunjukkan dukungan saya terhadap istri untuk memberikan ASI kepada Mili.

Karena, pada akhirnya saya sadar, bahwa kini batas-batas antara urusan ibu dan ayah dalam hal parenting sudah melebur. Soal ini bukan sekadar urusan domestik, dan secara alamiah seorang ayah memang tidak bisa dijauhkan dari proses ini.

Khusus untuk urusan ASI, memang ibu yang punya kapasitas khusus untuk memberikannya kepada si anak. Tapi, tempat si anak mengadu dan berteriak dalam tangisnya, saya anggap ditujukan kepada ayah. Agar si ayah menemaninya, membimbingnya, menjadi temannya menunggu, sampai si ibu memberikan ASI-nya.

<iframe width="420" height="315" src="http://www.youtube.com/embed/n7qrtVoB3ds" frameborder="0" allowfullscreen></iframe>

Kesimpulan saya ini menjawab alasan pernyataan mantan presiden Amerika Serikat, Richard Nixon di awal cerita ini. Dan juga jawaban atas terperanjatnya seorang bocah melihat ayahnya, teman saya, pulang kantor. Si bocah mungkin menginginkan belai lembut kasih sayang ibunya, tapi ia terlampau gembira melihat ayahnya, sosok tempatnya meminta pertolongan jika si ibu sedang letih.

Selain itu...

Kenapa Jim Nelson di prolog cerita ini menyatakan, “The only experience we’ve had with fatherhood was through our own fathers – which, if you haven’t noticed, ain’t exactly the model for how things work anymore”? Karena memang penerapannya terus berubah.

Karena itu pula, saya tertarik menceritakannya di sini. Saya berharap, memberikan kontribusi positif untuk dunia per-ayah-an. Agar kita tidak lagi sekadar berkaca dari figur ayah kita, tapi juga belajar banyak dari ayah-ayah lain yang berproses di masa yang lebih relevan.

At the end of the day, what we have to do is figure out what the hell we’re doing. Don’t worry, quit crying, and keep reading! Cheers!

*ditulis oleh Syarief Hidayatullah | Twitter: @bangaip

10 comments:

  1. Inspiring banged Bro....

    Gue calon Ayah dari calon jagoan yang Insya Allah lahir akhir Oktober 2011 ini.

    Awal pernikahan, sampe akhirnya istri gue baru dipercaya Tuhan untuk bisa hamil 1,5 tahun setelahnya, gue rasa gue punya peran penting dalam setiap jengkal usaha kami berdua.

    Puluhan artikel di internet gue lahap, banyak spesialis gue datengin, dan puluhan juta juga gue abisin untuk nyempurna'in ikhtiar gue dan istri.

    Tapi begitu hamil, kok rasanya peran penting dan support yang gue kasih untuk istri malah ngendor yaa.

    Tulisan loe ngasih cambuk gue untuk balikin semangat itu lagi Bro.... Knowledge is out there, I have to catch it :-)

    ReplyDelete
  2. Ahh gilaa, sama2 brader! Karena semua ini tuh sebenernya msh jd proses panjang utk kita semua lah cowok2 membiasakan diri dengan hal2 yg sebelumnya gak deket sm dunia kita kan. Gue aja sampe skrg jg bukan suami/ayah yg gimana2 bgt kok; ayo atuh lo share cerita lo ngedampingin istri, apa adanya aja, biar yg lain bisa belajar jg euy ;) kalopun kita sama2 msh jauh dr sempurna, at least kita sudah berani bersuara meneriakkan dukungan, ya nggak sih?

    ReplyDelete
  3. akhirnya keluar juga tulisan lo Ip. mantap ey bacanya dari sini. keep up the good work. salam utk your 3 angels!
    and all the best for #ayahASI. so proud of you guys!

    ReplyDelete
  4. enak buat guide..., thanks

    ReplyDelete
  5. *istrinangisdikantor* sampe rumah laki gue mesti bacaaaaaaaaaa!
    tengssss ya :)

    ReplyDelete
  6. wow....boleh di share kan ya mas :)

    ReplyDelete
  7. yesssss you go daddy!!!! waahh dodo harus baca nih ip tulisan lo. so inspiring!!!

    ReplyDelete
  8. terharu..my husband baca ya...

    ReplyDelete
  9. Ahhh... Andaikan suami ku mendukung ... Ndak aware blasssss.... Sedih rasanya...

    ReplyDelete
  10. Great dad! Nggak banyak laki2 yg mempunyai niat untuk ikut turun tangan mengurus anaknya sendiri. Kadang walaupun sudah diminta tolong si ibu, tetap aja melakukan dengan berat hati ataupun malah nggak mau melakukannya. Entah itu hanya untuk melakukan hal2 kecil. Mungkin hal2 ini terjadi dalam keluarga yang merasa ayah tugasnya untuk mencari uang saja, dan ibu mengurus anak. Namun tanpa mereka sadari, jaman sekarang ibu juga harus turun tangan untuk membantu mendapatkan penghasilan tambahan. Lagi2 juga untuk keluarganya. Tetapi kadang suami lebih banyak memikirkaan ego sendiri. Dimana ia merasa sudah lelah bekerja seharian, dan tidak menyadari betapa pentingnya dekapan, perhatian dan asuhan seorang ayah bagi anak2nya. I hope more daddy read this inspiring notes.

    ReplyDelete