Wednesday, September 28, 2011

Jauh Sebelum Waktunya…



“Ngapain lagi tuh ABG belajar tentang ASI?”

Kalimat itu yang mungkin melintas di pikiran sekelompok pasangan suami istri, ketika melihat saya duduk di antara mereka dalam sebuah seminar mengenai ASI. Ya ASI, Air Susu Ibu. Ketika itu saya masih sangat muda, dan yang jelas, belum menikah.

Memang sudah risiko, menjadi yang paling muda sekaligus bujangan di seminar ASI, tentu saja mengundang heran bagi kebanyakan orang. Namun, terus terang kepentingan saya saat itu bukan sekadar iseng, melainkan memang sengaja membawa misi penting untuk mengetahui secara detail tentang ASI, dan mengapa ASI penting? Pertanyaan yang saya pikir perlu saya ketahui jawabannya.

Keingintahuan ini bermula karena pekerjaan saya di salah satu stasiun radio dengan segmen pendengar perempuan di Jakarta. Posisi sebagai produser siaran membuat saya sebisa mungkin mengetahui beragam hal yang kebanyakan berkaitan dengan isu kehidupan perempuan untuk disebarluaskan kepada pendengar.

Di titik tertentu, saya kelimpahan tugas untuk menggarap program kampanye ASI. Sebagai orang yang ketika itu belum berencana menikah, apalagi memiliki anak, tugas ini menjadi tantangan tersendiri buat saya. Tidak mudah sudah harga mati, tapi saya punya keyakinan bahwa informasi ini menjadi hal yang sangat berguna suatu saat kelak. Maka, hal pertama untuk mendalami isu yang jauh dari masa dan usia saya ini adalah mampir ke seminar tadi.

Kini, saya sadari bahwa seminar itu merupakan gerbang sekaligus bagian profesi yang sangat mencerahkan buat saya; karena saya tahu hal penting seperti ASI, jauh sebelum terlambat. Saya masing ingat, saat itu nyaris seluruh yang hadir adalah perempuan, dan hanya ada dua orang pria di ruangan itu: saya dan seorang pelayan di restoran yang menjadi lokasi seminar.


Saat mengamati sekitar, saya menebak-nebak bahwa usia para perempuan di seminar ini jelas di atas saya. Sementara saya, ketika itu berusia 22 tahun. Ya, usia di saat seorang pria seharusnya berada di masa senang-senang dan tidak perlu memikirkan pernikahan, apalagi mengenai anak dan ASI. Namun, walaupun ada rasa asing di ruangan itu, saya berusaha mengikuti materi yang dibahas semaksimal mungkin.

Tiga puluh menit pertama saya hanya bisa diam, terjebak antara ketidakpahaman sekaligus terkejut mengetahui betapa pentingnya ASI; dan di saat bersamaan saya langsung mengingat keluarga di sekitar lingkungan saya, yang memang belum mengetahui menfaat ASI secara mendalam. Contoh paling mudah adalah orangtua saya, yang belum pernah menjelaskan secara detail kepada saya, karena sejak kecil saya lebih akrab dengan susu kaleng yang harus di minum setiap pagi dan sesaat sebelum tidur.

Pembicara pada seminar tersebut, Dr Utami Roesli; sementara pembicara lainnya adalah menantu bu dokter, sekaligus mantan model majalah Playboy, Tiara Lestari. Hmmm… Saya lagi mengingat-ingat, apakah faktor pembicara kedua yang membuat saya  mampu menyerap materi seminar dengan baik? Hehehe…

Salah satu bagian penting yang diulas dalam seminar itu adalah pentingnya proses Inisiasi Menyusui Dini (IMD), demi kesuksesan pemberian ASI. Istilah ini sempat membuat saya tertegun dan bingung, apa lagi ini? IMD adalah Inisiasi Menyusui Dini, peristiwa melekatkan sang bayi di perut ibunya, langsung setelah melahirkan dan tanpa dimandikan. Inti dari proses itu adalah membiarkan si bayi berupaya mencari puting payudara ibunya, agar si anak langsung mengenal ASI sejak pertama kelahirannya di dunia.

Proses ini harus didukung penuh oleh rumah sakit atau tempat si ibu melangsungkan proses persalinan, karena IMD merupakan bagian penting dari proses pemberian ASI, karena keduanya saling terkait. Nah, di sinilah peran Tiara Lestari yang saat itu berbagi kisah tentang keberhasilannya memberikan IMD dan ASI pada anaknya. Materi seminar pun mulai berlangsung semakin menarik, hehehe…

Mendengar serentetan penjelasan mengenai pentingnya ASI yang dibuka dengan IMD oleh para pembicara di seminar itu, lengkap dengan video-video tentang proses melakukan IMD membuat saya terkagum-kagum. Mendebarkan rasanya ketika menyaksikan seorang bayi yang baru lahir berusaha mencari puting payudara ibunya, tanpa bantuan. Semua rangkaian informasi ini membuat saya tertarik untuk menggali lebih banyak lagi pengetahuan tentang ASI. Hal yang kemudian terlintas di pikiran saya ketika itu adalah, saya harus informasikan ini kepada orang sebanyak mungkin, khususnya calon istri saya kelak.

Lepas dari seminar itu, saya membaca kembali semua materi yang saya dapat, layaknya seorang yang besok akan menghadapi ujian. Saya bandingkan informasi itu dengan beragam sumber lain melalui internet. Hasilnya, saya takjub. ASI ternyata isu besar yang membutuhkan perhatian penuh. Banyak rumah sakit (RS) di Indonesia yang belum mendukung IMD, sayangnya karena informasi mengenai proses ini masih simpang siur sehingga membuat penerapannya menjadi kabur.

Lebih menyakitkan lagi ketika saya mendapatkan fakta-fakta bahwa banyak RS yang membiarkan si bayi diberi asupan susu formula ketika baru dilahirkan. Padahal, saya tahu persis, bahwa puluhan bahwa ratusan juta kaleng susu pun tidak akan pernah bisa menggantikan ASI. Semua kegelisahan ini perlu saya tumpahkan, dan ketika itu orang pertama yang menjadi “korban” adalah pacar saya, Sessa Xuanthi. Meskipun ia perempuan, ternyata ia pun belum banyak mengetahui tentang hal ini.

Ketika saya bahas soal ASI, reaksi pertamanya adalah bingung, diam, lalu berkomentar, “Hah, kamu belajar ASI? Yang bener aja, aku aja yang perempuan belum pengen tau!” Ia lalu tertawa, merasa saya aneh, buat apa pria seusia saya mencari informasi mengenai ASI. Saat itu saya hanya berpikir, bahwa ia bukan tidak ingin tahu, tapi hanya belum yakin bahwa ia ingin tahu lebih banyak tentang hal ini.

Lalu, daripada saya tertular tidak yakin, saya pun mencoba meneguhkan keyakinan saya dengan menemui Dr. Utama Roesli, salah satu pembicara dalam seminar tadi, yang memang dokter anak sekaligus ketua Sentra Laktasi Indonesia. Saya yakin ini keputusan yang tepat. Pertemuan kali ini lebih private, karena hanya melibatkan bu dokter, saya dan dua pasang suami istri yang sedang menunggu kelahiran anak mereka. Tanpa saya rencanakan, ternyata saya banyak bertanya, bahkan lebih aktif ketimbang dua pasang suami istri itu.

Tak hanya mendengarkan, seluruh pembicaraan dengan Dr. Utami saat itu saya rekam. Tujuannya, selain untuk bisa saya olah sebagai program di radio tempat saya bekerja, saya juga ingin menyimpannya di iPod sebagai konsumsi pribadi. Hingga kini, rekaman itu masih ada di playlist iPod saya, dan sesekali saya putar untuk teman yang membutuhkan informasi mengenai ASI.

Berbekal materi rekaman tersebut, saya kembali mencoba menjelaskan mengenai IMD dan ASI kepada Sessa, pacar saya. Proses “mencuci otak” pacar saya mengenai hal positif ini terus saya lakukan, tanpa menyerah. Hingga, pasangan saya ini pun tergugah, dan akhirnya mulai ikut penasaran. Ia pun setuju dengan saya bahwa informasi ini sangat penting, bahkan untuk diketahui oleh pasangan yang belum memiliki anak, dan jadi lebih baik lagi dipahami oleh pasangan yang belum menikah. Kenapa? Karena membuat persiapan menjadi lebih matang dan panjang.

Pada satu kesempatan, saya membawa Sessa ke seminar ASI, di saat (mungkin) lebih banyak pasangan memilih pacaran ke bioskop atau jalan ke mal. Saya mencoba inisiatif lain, pergi ke seminar, mencari ilmu, menerapkannya kelak, dan menyebarkan informasinya. Dalam seminar yang kami hadiri, jelas bahwa hanya kami berdua yang masih berstatus “pacaran”; namun hal itu tidak membuat kami minder dan ragu. Toh, hal ini akan berguna buat kami masing-masing kelak, kenapa harus takut?

Bekal pengetahuan dari seminar IMD dan ASI yang kami hadiri menyulut kami untuk mencoba menyebarluaskan informasi yang sangat baik ini. Kami bertingkah seolah kami adalah brand ambassador dari IMD dan ASI. “Pasien” pertama kami berdua ketika itu adalah kakak Sessa yang sedang menunggu kelahiran anak keduanya. Kebetulan, anak pertamanya bisa disebut gagal total dalam pemberian ASI, untuk itu kami yakin bahwa informasi ini jadi sangat berguna untuknya. Pertama, kami tegaskan bahwa IMD merupakan awal dari kesuksesan pemberian ASI. Kakaknya Sessa ini ternyata belum pernah mendengar istilah IMD, kami pun ambil peran untuk berbagi informasi dan pengetahuan mengenai hal itu. Hebatnya, semua berjalan lancar, proses IMD berlangsung mulus, dan ASI terus diberikan kepada anak keduanya hingga berusia dua tahun. Saya dan Sessa senang karena bisa membantu berbagi informasi penting ini.

Kami bangga dan ikut merasa lega meskipun belum menikah. Peristiwa ini membuat kami cukup percaya diri dan siap, ketika nanti giliran kami datang. Benang merah dari kisah awal saya mengetahui ASI hingga membantu kakak pacar saya bermuara pada kesimpulan, bahwa merencanakan jauh lebih awal akan lebih baik; karena, kita masih memiliki banyak waktu untuk menggali informasi lebih dalam dan mengantisipasi hal-hal yang diperlukan. Kini, Sessa pun menjadi mantan pacar saya, kami membangun keluarga kecil bersama putra pertama kami, Aikia Gung Xadika. :)

Aikia, melalui proses IMD dengan lancar; dan through thick and thin, hingga kini usianya 18 bulan, kami masih terus memberikan ASI padanya. Kami bersyukur karena bisa memberikan ASI dan segala yang terbaik untuk Aikia. ASI adalah susu yang tidak akan pernah bisa digantikan, dan jauh lebih bernilai dibandingkan susu merek apapun dengan harga berapapun. Seorang ibu telah dianugerahi ASI yang bisa diminum sepuasnya oleh anak. Kalau ada yang gratis, kenapa harus bayar? Lagipula, pemberian ASI juga bisa menghasilkan ASI lainnya, yaitu Anak Sayang Ibu.

*ditulis oleh Dipa Andika | Twitter: @dipaaa

2 comments:

  1. Dip,share rekamannya dong,upload aja ke web dip biar bisa didownload..kalo ga ntar gw minta ya pas di jakarta..ok dip..hehehe..waktu ke dr.utami ga kepikiran ngerekam,terlalu amaze sama materinya..hahaha..

    ReplyDelete
  2. semakin nge-fans sama ayah asiiiii,,,,,
    hidup, mimin!!!

    ReplyDelete